IZINKAN AKU CUTI DARI DAKWAH

RENUNGAN : Sunyi… Itulah yang sedang kurasakan. Bergelut dengan aktifitas dakwah yang menyita banyak perhatian, baik tenaga, harta, waktu dan sebagainya, seakan menempa diriku untuk terus belajar menjadi mujahid tangguh. Tapi kini, hatiku sedang dirundung kegalauan. Galau akan saudara-saudaraku dalam barisan dakwah yang katanya amanah, komitmen, bersungguh-sungguh namun seakan semua itu hanyalah teori-teori dalam pertemuan mingguan. Hanya dibahas, ditanya-jawabkan untuk kemudian disimpan dalam catatan kecil atau buku agenda yang sudah lusuh hingga pekan depan mempertemukan mereka lagi, tanpa ada amal perbaikan yang lebih baik. Ya… mungkin itu yang ada dibenakku saat ini tentang su’udzhan-ku terhadap mereka, setelah seribu satu alasan untuk berhusnudzhan. Dan juga masa depan serta kesibukannku sebagai seorang mahasiswi pasca sarjana dan seorang istri. Benar-benar merasa sepertinya tidak punya waktu lagi untuk berdakwah.

Kini kutermenung kembali akan hakikat dakwah ini. Sebenarnya apa yang ku cari dari dakwah? Dimanakah yang dinamakan konsep muntiz yang sering diceritakan sebagai sesuatu yang hebat? Apakah itu hanya pemanis cerita tentang dakwah belaka? Dimanakah konsep yang disebut ukhuwah? Kalau dulu, sebelum bekerja jika ada seorang ikhwah melontarkannya kata-kata “afwan ukh, ana gak bisa bantu banyak…” atau sms yang berbunyi “afwan ukh, ana gak bisa datang untuk syuro malam ini…” atau kata-kata berawalan “afwan ukh…” lainnya dengan seribu satu alasan tidak bisa hadir untuk sekedar merencanakan strategi-strategi dakwah kedepannya, dan hal ini.yang membuatku merasa agak jengkel, dan pada akhirnya berbuntut pemakluman. Itulah diriku yang duluw, tapi sekarang, merasa diri malah yang melakukan itu. Sering banget meninggalkan agenda-agenda dakwah. Hanya alasan kesibukan, dan adaptasi diri sebagai seorang Mahasiswa en pkerja profesional dengan bejibun aktivitas yang ”itu-itu saja” namun terasa banyak menyita waktu serta kesibukan mahasiswi pasca yang masya Allah diluar prediksi saya sibuknya. Serasa pengen bilang“Izinkan aku untuk cuti dari dakwah ini”, mungkin untuk seminggu, sebulan, setahun atau bahkan selamanya. Lebih baik aku konsenstrasi dengan studiku yang kini sedang berantakan, atau dengan impian-impianku yang belum terpenuhi, atau… dengan lebih memperhatikan ibuku yang sudah semakin ingin ku berada di rumah, toh tanpa aku pun dakwah tetap berjalan, bukan???

Mencoba menasehati diri sendiri dengan kondisi dan keadaan diri yang tidak menentu, serta fikiran yang sudah muali banyak memikirkan banyak hal. Let’s to brainstrom ur mind mel..

Dalam dunia dakwah yang sedang kita geluti seperti sekarang ini, tidak jarang kita mengalami konflik atau permasalahan- permasalahan. Dari sekian permasalahan tersebut terkadang ada konflik-konflik yang timbul di kalangan internal aktivis dakwah sendiri. Pernah suatu ketika dalam aktivitas sebuah barisan dakwah, ada seorang ikhwan yang mengutarakan sakit hatinya terhadap saudaranya yang tidak amanah dengan tugas dan tanggungjawab dakwahnya. Di lain waktu di sebuah lembaga dakwah kampus, seorang akhwat “minta cuti” lantaran sakit hatinya terhadap akhwat lain yang sering kali dengan seenaknya berlagak layaknya seorang bos dalam berdakwah.

Pernah pula suatu waktu seorang kawan bercerita tentang seorang ikhwan yang terdzalimi oleh saudara-saudaranya sesama aktifis dakwah. Sebuah kisah nyata yang tak pantas untuk terulang namun penuh hikmah untuk diceritakan agar menjadi pelajaran bagi kita. Ceritanya, di akhir masa kuliahnya sebut saja si X (ikhwan yang terdzalimi) hanya mampu menyelesaikan studinya dalam waktu yang terlalu lama, enam tahun. Sedangkan di lain sisi, teman-temannya sesama (yang katanya) aktifis dakwah lulus dalam waktu empat tahun. Singkat cerita, ketika si X ditanya mengapa ia hanya mampu lulus dalam waktu enam tahun sedangkan teman-temannya lulus dalam waktu empat tahun? Apa yang ia jawab? Ia menjawab “Aku lulus dalam waktu enam tahun karena aku harus bolos kuliah untuk mengerjakan tugas-tugas dakwah yang seharusnya dikerjakan oleh saudara-saudaraku yang lulus dalam waktu empat tahun.”

Subhanallah… di satu sisi kita merasa bangga dengan si X, dengan militansinya yang tinggi beliau rela untuk bolos dan mengulang mata kuliah demi terlaksananya roda dakwah agar terus berputar dengan mengakumulasikan tugas-tugas dakwah yang seharusnya dikerjakan teman-temannya. Namun di sisi lain kita pun merasa sedih… sedih dengan kader-kader dakwah (saudara-saudaranya Si X) yang dengan berbagai macam alasan duniawi rela meninggalkan tugas-tugas dakwah yang seharusnya mereka kerjakan.

Semester satu kemaren nilai saya mungkin tidak sejajar dengan teman-teman S2 dari UGM, sebenarnya alasannya karena menyiapkan acara pernikahan teman yang tergolong mepet waktu perencanaanya, apalagi penetapan tanggal nya dan semua prosesi dadakannya itu berlangsung pas sibuknya pekerjaan. Tetapi dikalangan teman-teman S2 va berkembang rumor, klo aktivis tuh ga terlalu bagus akademiknya, tahu sendiri lah ya anak-anak S2 tentu semuanya jago dan merupakan putra terbaik pilihan universitas asal, maupun dosen terbaik dari asal institusinya, bayangkan saja saya bersejejar dengan mereka. Dan ternyata dari universitas ataupun institusi asal, anak-anak ROHIS ataupun aktivis dakwah semuanya ya gitu ga ada yang menonjol secara akademik. Waktu tahu rumor itu saya agak kaget, saya sadar saya baru saja menambah catatan baru pandangan bagi mereka, aktvis kalah akademik. Whuah… hal ini tidak bisa dibiarkan donk..

Semoga kisah dan cerita saya tersebut tidak terulang kembali di masa mendatang dan masa setelah kita, cukuplah menjadi sebuah pelajaran berharga…. Semoga kisah tersebut membuat kita sadar, bahwa setiap aktifitas yang di dalamnya terdapat interaksi antar manusia, termasuk dakwah, kita tiada akan bisa mengelakkan diri dari komunikasi hati. Ya, setiap aktifis dakwah adalah manusia-manusia yang memiliki hati yang tentu saja berbeda-beda. Ada aktifis yang hatinya kuat dengan berbagai macam tingkah laku aktifis lain yang dihadapkan kepadanya. Tapi jangan pula kita lupa bahwa tidak sedikit aktifis-aktifis yang tiada memiliki ketahanan tinggi dalam menghadapi tingkah polah aktifis dakwah lain yang kadang memang sarat dengan kekecewaan-kekecewa an yang sering kali berbuah pada timbulnya sakit hati. Dan kesemuanya itu adalah sebuah kewajaran sekaligus realita yang harus kita pahami dan kita terima.

Seringkali kita memukul rata perlakuan kita kepada sahabat-sahabat kita sesama aktifis dakwah, dengan diri kita sebagai parameternya. Begitu mudahnya kita melontarkan kata-kata “ Antum telah berguguran di jalan dakwah, atau kata-kata pahit lainnya atas kelalaian-kelalaian yang kita lakukan, tanpa dibarengi dengan kesadaran bahwa sangat mungkin kelalaian yang kita lakukan itu ternyata menyakiti hati saudara kita. Dan bahkan sebagai pembenaran kita tambahkan alasan bahwa kita hanyalah manusia biasa yang juga dapat melakukan kekeliruan. Memang benar bahwasanya aktifis dakwah hanyalah manusia biasa, bukan malaikat, sehingga tidak luput dari kelalaian, kesalahan dan lupa. Tapi di saat yang sama sadarkah kita bahwa kita sedang menghadapi sosok yang juga manusia biasa? bukan superman, bukan pula malaikat yang bisa menerima perlakuan seenaknya. Sepertinya adalah sikap yang naif ketika kesadaran bahwa aktifis dakwah hanyalah manusia biasa, hanya ditempelkan pada diri kita sendiri.

Seharusnya kesadaran bahwa aktifis dakwah adalah manusia biasa itu kita tujukan juga pada saudara kita sesama aktivis dakwah, bukan cuma kepada kita sendiri. Dengan begitu kita tidak bisa dengan seenaknya berbuat sesuatu yang dapat mengecewakan, membuat sakit hati, yang bisa jadi merupakan sebuah kezhaliman kepada saudara-saudara kita. Mulai sekarang tata diri pribadi, menyikapi segala sesuatunya dengan bijaksana dan dewasa, karena hidup cumalah sebentar manfaatkan waktu sebaik mungkin, perbaiki persepsi manusia tentang sisi minus aktifis dakwah, jadikan sebagai motivasi, terus berkarya untuk ummat ini, karena tantangan dakwah di luar sana semakin liar… Sehingga permasalahan internal tidak menjadikan seorang kader bilang “aku ingin cuti dari dakwah”.

Sumber : http://evans86.cybermq.com/post/kategori/1618/renungan

Tidak ada komentar: